PENCETAKAN LIMBAH PLASTIK SISTIM INJEK MANUAL

Oleh: Mohamad Yusman
yusmanmsc@email.com, yusman61@gmail.com

1. PENDAHULUAN
Daur ulang merupakan upaya memanfaatkan kembali barang-barang yang dianggap sudah tidak memiliki nilai ekonomis, melalui proses fisik maupun kimiawi atau keduanya hingga didapat suatu produk yang dapat dipergunakan dan diperjualbelikan lagi. Produk baru tersebut pada umumnya memiliki kualitas yang lebih rendah karena sudah kehilangan sebagian karakteristik bahannya. Berikut adalah sebagian nama-nama jenis sampah plastik yang biasanya didaur ulang (tabel-1).

Tabel-1 : Jenis-jenis Sampah Plastik yang Didaur ulang


Pemanfaatan limbah plastik merupakan upaya menekan pembuangan plastik seminimal mungkin dan dalam batas tertentu menghemat sumber daya dan mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Pemanfaatan limbah plastik dapat dilakukan dengan pemakaian kembali (reuse) maupun daur ulang (recycle). Di Indonesia, pemanfaatan limbah plastik dalam skala rumah tangga umumnya adalah dengan pemakaian kembali dengan keperluan yang berbeda, misalnya tempat cat yang terbuat dari plastik digunakan untuk pot atau ember.
Pemanfaatan limbah plastik dengan cara daur ulang umumnya dilakukan oleh industri. Secara umum terdapat empat persyaratan agar suatu limbah plastik dapat diproses oleh suatu industri, antara lain limbah harus dalam bentuk tertentu sesuai kebutuhan (biji, pellet, serbuk, pecahan), limbah harus homogen, tidak terkontaminasi, serta diupayakan tidak teroksidasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, sebelum digunakan limbah plastik diproses melalui tahapan sederhana, yaitu pemisahan, pemotongan, pencucian, dan penghilangan zat-zat seperti besi dan sebagainya.
Terdapat hal yang menguntungkan dalam pemanfaatan limbah plastik di Indonesia dibandingkan negara maju. Hal ini dimungkinkan karena pemisahan secara manual yang dianggap tidak mungkin dilakukan di negara maju, dapat dilakukan di Indonesia yang mempunyai tenaga kerja melimpah sehingga pemisahan tidak perlu dilakukan dengan peralatan canggih yang memerlukan biaya tinggi.

2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu:
1. Bagaimana sampah plastik dapat didaur ulang dengan biaya yang lebih murah dan tidak bergantung kepada industri besar plastik?
2. Adakah manfaat /keuntungan dari daur ulang sampah plastik sistim manual dilihat dari segi lingkungan dan ekonomi serta dampak positif bagi masyarakat dari sisi angkatan kerja?

3. KELAYAKAN TEKNIS DAN METODOLOGI
Mata rantai pekerjaan daur ulang plastik pada umumnya bermula dari :
1.Pemulung
2.Pengepul
3.Penggilingan bahan daur ulang plastik
4.Pembuatan pelet / biji plastik
5.Pabrik pembuatan peralatan /perabotan.

Rantai 1 hingga 3 sudah banyak dilakukan oleh para pelaku usaha daur ulang, sedangkan rantai 4 dan 5 masih terbatas dilakukan oleh pelaku daur ulang yang bermodal besar. Untuk itu, penerapan teknik pencetakan plastik sistim manual akan dapat mengurangi biaya investasi dan terjangkau oleh para pelaku daur ulang yang bermodal kecil.

Sistim manual pencetakan produk plastik pada dasarnya adalah memanaskan limbah plastik cacahan hingga meleleh dan mencetak dengan memberikan tekanan kepada cetakan yang sudah disediakan kemudian didinginkan. Produk yang dihasilkan tidak akan kalah mutunya dengan produk hasil pencetakan sistim otomatis. Secara skematik. proses manual dibandingkan dengan proses otomatis dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar-1: Perbandingan proses otomatis dan manual pencetakan limbah plastik


4. PROSPEK
Teknologi yang ditawarkan merupakan teknologi sederhana dan terjangkau oleh pelaku daur ulang plastik yang bermodal kecil. Dengan demikian maka diharapkan bahan baku daur ulang tidak harus selalu dikirim ke industri besar yang memerlukan transportasi tambahan tetapi cukup dicetak di tingkat lapak.

Disamping itu, upaya pengolahan limbah plastik menjadi produk yang fungsional dan memiliki daya jual tinggi pada saat ini memiliki prospek yang cukup cerah, apalagi saat ini isu pemanasan global dan kawasan hijau banyak didengungkan masyarakat dunia dan ini mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk menghargai bahan-bahan sisa/limbah seperti limbah plastik.

5. MANFAAT EKONOMI
Dampak dari diterapkannya sistim manual pada pencetakan produk plastik disamping mengurangi eksploitasi penggunaan bahan baku murni (virgin material), mata rantai pengolahan limbah plastik juga akan melibatkan banyak pelaku daur ulang atau dengan kata lain dapat menyerap banyak tenaga kerja yang berarti dapat mengurangi beban pengangguran di tanah air.


....Read More/Baca Selanjutnya... »»

INTER-REGIONAL GROUP TRAINING WORKSHOP ON TECHNOLOGY NEEDS ASSESSMENT FOR DEVELOPING COUNTRIES

UNIDO PROJECT No. XP/INT/04/020-17- 51
Prepared by: Mohamad Yusman
yusmanmsc@email.com, yusman61@gmail.com

Preface

Transfer of foreign technology to Indonesia has been considered to position Indonesia as equivalent with and parallel to other nations. Therefore, Indonesia should increase the capability of the nation in mastering science and technology and place the S&T as one of the prime movers of the dynamic development of the country. Inter-Regional Group Training Workshop On Technology Needs Assessment For Developing Countries in Dakar was jointly organized by UNIDO and the African Regional Center for Technology (ARCT). It was attended by 23 participants from 13 developing countries from different regions of the world. This workshop was intended to assist Developing Countries in the technology needs assessment (TNA) task which covers three levels of technology needs assessment framework and tools to facilitate technology transfer: Those levels are (1) National level TNA; (2) Sector level TNA; and (3) Enterprise level TNA.
This workshop is very important for the development of Science and Technology in Indonesia and is expected to inspire and promote self confidence in science and technology development of Indonesia which will significantly promote and sustain national production underlined by a stable social environment.

Acknowledgments
First, I would like to thank to UNIDO for supporting and inviting me to attend the valuable workshop in Dakar, Senegal. My appreciation goes to Mr. Ouseph Padickakudi - Project Manager Industrial Promotion and Technology Branch
UNIDO, Mr. Mouhamadou Diop - Head Research and Technological Consultancy DivisionAfrican Regional Centre for Technology ARCT, UNIDO Consultant Mr. J.M. de Caldas Lima and Mr. J. Butler, and all represetatives from each country around the world. Finally, I am most grateful to Mr. Masayoshi Matsushita – UNIDOO Representative of Indonesia and his staff.

1. Introduction

1.1.Background
The development of science and technology is undertaken to raise the capability to make the best use of science and technological progress by way of increasing the utilization, development and mastery of science and technology. Thus, science and technology will have the capacity for providing supports to the sustainable development.
The activities to develop science and technology must be aimed at increasing the quality of community's movement, whether in economy, politic, social and culture, which are directed towards the strengthening of self-supporting capability, or political stability and its impacts to the global predominance. The success of those activities will in turn expand opportunities for diversification and employment, as these have shares in promoting the welfare of the society.
Therefore, activities to utilize, develop and master the science and technology are placed on how important to increase their capacity as a social system dynamist, through the absorption of results and the building of innovational power, to transform their achievements to be qualified and quantified as well as greatly useful, both to fulfill domestic needs and global markets. When frequently integrated with integrated activities, science and technology throughout the innovational devices that are resulted from research, development and engineering activities, will become one of the main foundations to the emergence of a competitive capability within the societal structures and national industries. Therefore, it needs to prioritize activities for multiplying adoption, adaptation, innovation, invention, and discovery to be carried out with a multi-discipline approach in dealing with production of goods and trading commodity services, which is followed with the increase of quality and quantity of man as users of science and technology.
Increasing the Capacity of Science and Technology Rapid changes brought about by globalization require that Indonesia accelerates the efforts to position itself as equivalent with and parallel to other nations. The increasing role of science and technology has become a must in order to increase domestic
competitiveness of goods and services that are based on local resources.

1.2. Technology Needs Assessments
Technology Needs Assessments (TNAs) according to UNIDO are frameworks and tools designed to identify and determine the capabilities needed to implement the technology priorrities of developing countries. They involve major stakeholders in a consultative process in order to identify national andd sectoral priorities and overcome the barriers to technology transfer at three key levels: (a) nation; (b) sector); and (c) enterprise.
The TNA will allow countries to self-access their overall national technological capabilities in areas such as policy making, research and technology organisations, the links between government and firms and the effectiveness of current national technology trategies and programmes.

1.3. Technology Capability

Technology capabiilities are abilities needed to carry out production realted activities, ranging from planning, the purchasng of equipment, plant start-up and operation, the adaptation of inputs, improvement to production 8processes, changes to product specifications, product processs interface engineering, incremental improvements to processes and products, new product design. Applied R&D and basic research.

There are three strategic levels of Technology Capabilities i.e. National/ Policy Capabilities, Sector Capabilities, and Firms/ Enterprises Capabilities. The crucial capabilities for Developing Countries is the managerial/sttrategic capability needed to select, acquire, absorb and implement specific technologies.

1.4. Staircase Model of National Capabilities in Developing Countries
The capability staircase model developed by Baden-Fuller and Stopford (1994), Bessan et al (2000) and Arnold et al (2000) describes four ideal types of national governments according to their degree of capability. The foru categgories are represented on a staircase of capability levels, from Type A (very weak) to Type D (very strong). Position of one country on this model may change by the time depends on how successful it is.



2. Technology Needs Assessment Workshop
The inter-regional group training workshop on Technology Needs Assessment for Developing Countries took place between 3 – 7 May 2005 in Dakar jointly organized by UNIDO and ARCT. It was attended by 23 participants from 13 developing countries from different regions of the world. In addition to the focus of the training program, workshop participants discussed a wide range of issues related to capacity building and shared technology policy and strategy experiences from their respective countries. Each of them made their presentations on the national technology policies and strategies for their respective countries to cover the role of technology support institutions and policy actions undertaken by their governments for promoting technology acquisition.

Technical presentations were given by UNIDO consultants J. Butler and J. de Caldas Lima. These were interactive in nature, and were followed by open discussions on issues of particular relevance for the workshop participants.
The first sessions were aimed at illustrating and explaining the Technology Needs Assessment framework: the tool was analysed and its purpose and applicability discussed. The UNIDO document on “Technology Needs Assessment for Developing Countries” was distributed to all participants, forming the base of the underlying methodology.

The final sessions of the workshop were characterised by group-works, held with the purpose of carrying a thorough analysis of the Technology Needs Assessment Tool at each level of application, namely national, Sectoral and Firm level. The structure of the tool was analyzed, and ways of adapting it as to make it applicable to country-specific conditions were discerned. The following recommendations were also made:

1.The TNA Framework has been developed to take into account the discussions and exchanges of all participants throughout the sessions, in order to address the different issues of specific countries, or sectors, or particular development related aspects. The framework therefore remains open to fine-tuning at each level in order to adapt it to particular prevailing circumstances and conditions.

2.In the process of implementation, the active commitment and participation of a wide range of stakeholders can be taken into consideration and the TNA methodology facilitates this consultation process.

3.Suggestions were offered by participants to introduce an international benchmarking scheme, which would provide additional incentives and benefits that would derive from the TNA exercise, and it was recommended that this aspect be given serious consideration.

4.The widespread diffusion of the TNA framework will require support mechanisms and translation of materials into various local languages so that the training of appropriate personnel is effectively facilitated.

5.The tool is an excellent platform for using and applying a range of UNIDO tools and techniques for guiding technology transfer, project management and other developmental approaches in a targeted fashion within the framework of sustainable development.

6.The recommendation to strengthen South-South Cooperation via the exchange of experiences and lessons derived from the application of the TNA framework emerged.

7.The respective country participants unanimously agreed to go ahead with the execution of the TNA framework at all the three levels (national, sectoral, and firm levels) in their respective countries and will therefore need technical support to do this.

8.The participants from the African Continent strongly urged for an implementation program in cooperation with the ARCT.

9.Participants also recommended that the ARCT be strengthened by UNIDO so as to enable it spearhead the much-needed South-South Cooperation within the TNA framework.

10.UNIDO was requested to set up a TNA monitoring and evaluation scheme among the participating countries for purposes of enhancing the sharing of lessons and experiences among participating countries.

3. Test Case: Self-Assessment Capability
In this test case, self-assessmet was carried out for National Government level. A small group of government S&T representatives are asked to answer the questions as depicted in the attachment 1 by entering 1,2,3, or 4 for each question. The fourr point scale corresponds directly to the fur categories of country as illustrated in figure 1.

Having carried out a simple TNA’s test case, the results based on the average value are as follows:



The above results show that according to simple test case of self-assessmet for National Government level the average score for each key technology capability area is 27, 26, and 22 respectively. They are all including their total score chaacterized as strategic which meanns that the government has strong in-house policymaking capabilities and takes a strategic approach to technology acquisition. In some areas, the country is behind the international technology frontier but has many important strengths upon which to build; the government react effectively to changing environmental needs.

4. Further Activities to Be Undertaken
Project activities still to be undertaken include the following:
- The application of the TNA tools and the assessment of technological capabilities at National, Sectoral and Enterprise levels through field-level operations in selected countries;
- The conduction of national workshops with key stakeholders and decision-makers to take forward the results of the Technology Needs Assessment exercise;
- The definition of an improvement path for technology upgrading;
- The continuation of targeted promotion of technology acquisition proposals among participating developing country institutions and the facilitation of technology match-making for business cooperation; and
- The establishment of a network for South-South technology diffusion among participating institutions.

Key actions are currently being undertaken, in order to achieve the completion of the above-listed activities. These include the selection of 4 countries, namely Indonesia, Kenya, Philippines and Senegal, in which to start field-level operations for the conduction of the TNA exercise. Workshop participants have been selected as national consultants responsible for the implementation of the process, and they have been asked to draft an implementation plan for such activities. Moreover, the TNA framework is currently under revision as to take into account the comments, suggestions and recommendations emerged from the Interregional Group-Training Workshop on Technology Needs Assessment. UNIDO assistance is foreseen at the national level during the conduction of the TNA exercise through monitoring and support, and for the planning, organization and conduction of the national workshops.
Furthermore, in light of South-South cooperation and technology acquisition promotion, possible ways of benchmarking the TNA results among different countries and permitting the sharing of different experiences and the confrontation of different pathways for technology upgrading are being discussed.




....Read More/Baca Selanjutnya... »»

KADER LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

Oleh : Sri Wahyono
swahyono@yahoo.com

Dalam rangka mendukung pengelolaan sampah berbasis masyarakat di DKI Jakarta, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) pada bulan Agustus 2007 sampai dengan Januari 2008 melakukan studi dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Implementasi kegiatan tersebut diawali dengan Pelatihan Daur Ulang dan Pengomposan Sampah Rumah Tangga yang dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2007.

Kader lingkungan yang dididik oleh JBIC dalam pelatihan tersebut berjumlah 42 orang yang terdiri atas kader yang bermukim di RW 01 dan RW 02 (berjumlah 31 kader) dan yang bermukim di luar kedua RW tersebut (11 kader). Jumlah kader lingkungan yang bermukim di RW 01 berjumlah 22 orang sedangkan di RW 02 berjumlah 9 orang. Tujuh kader di antaranya, merangkap sebagai kader Yayasan Uli Peduli. Sedangkan kader lingkungan yang tidak bermukim di kedua RW tersebut terdiri atas tukang gerobak (4 kader), anggota LSM (6 kader), dan staf Dinas Kebersihan (1 kader). Dengan adanya program dari JBIC, jumlah total kader lingkungan di wilayah RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur menjadi 77 orang yang pada mulanya hanya 53 orang. Komposisi kader lingkungan didominasi oleh para ibu (70%), sisanya pria (30%).

Para kader lingkungan memiliki tanggung jawab untuk mengajak para tetangganya menjaga kualitas lingkungan hidup di sekitar rumah masing-masing terutama masalah kebersihan dan daur ulang sampah. Para kader lingkungan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pengolahan sampahnya kepada yang membutuhkan.

Untuk melihat aktivitas nyata para kader lingkungan, setelah pelatihan, dilakukan monitoring secara reguler. Pelaksanaan monitoring juga dilakukan sekaligus untuk pendampingan dan pembinaan kepada para kader lingkungan sehingga apabila menemui kesulitan dalam melakukan aktivitasnya dapat segera diatasi. Monitoring kegiatan dilakukan dengan cara (i) wawancara secara langsung dengan para kader lingkungan, (ii) penyebaran kuesioner, dan (ii) kunjungan monitoring secara reguler 3 – 4 minggu sekali ke para kader lingkungan. Selain itu dilakukan juga berkoordinasi dengan para stakeholders yang terkait, misalnya Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat, Pusat Teknlogi Lingkungan – BPPT, Yayasan Uli Peduli, dan Pemerintah Kelurahan Cempaka Putih Timur.

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH TERINTEGRASI

RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur merupakan daerah permukiman padat penduduk dengan jumlah KK 1.265 atau sekitar 5.060 jiwa. Diperkirakan jumlah sampah yang diproduksi perharinya 15 m3. Sampah warga didominasi oleh sampah organik, 65,55%. Sedangkan sampah lainnya adalah sampah anorganik yang didominasi oleh sampah kertas (10,57%) dan plastik (13,25%)



Oleh sebagian warga dan para kader lingkungan sampah yang dihasilkannya dipilah-pilah untuk kemudian dikomposkan dan dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. Residu sampahnya kemudian dibuang ke temat sampah. Tempat sampah yang digunakan oleh warga cukup beragam seperti tong plastik, drum seng, bak yang disemen, ember plastik, dan kantong plastik. Namun, Sebagian besar wadah sampah yang dipakai berupa drum dan tong plastik karena gampang dipindah-pindah dan tidak permanen sesuai dengan lingkungan jalan yang sebagian besar berupa gang yang tidak terlalu lebar dan tanpa trotoar. Wadah sampah dan komposter diletakan di depan rumah atau di pinggir-pinggir jalan masuk.

Sampah dari rumah tangga yang tidak diolah menjadi kompos kemudian dikumpulkan ke dalam gerobak sampah setiap 2 – 3 hari sekali dan diangkut ke kompleks Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari yang dikelola oleh Dinas kebersihan DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT. Di TPST tersebut, sebagian besar sampah dikomposkan dan didaur ulang, dan sebagian lainnya dimasukkan ke TPS indoor untuk dipres dan diangkut ke TPA Bantargebang. Sebagian kecil residu sampah dibakar di dalam incinerator.

PENGELOLAAN SAMPAH MANDIRI

Salah satu RT yang paling menonjol dalam pengelolaan sampahnya adalah RT 04 dan RT 08 RW 01. Kegiatan penghijauan lingkungan di RT tersebut telah dimulai sejak tahun 2004 oleh ibu-ibu yang tergabung dalam dasa wisma. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada tahun 2005 menjadi juara 2 Lomba Penghijauan tingkat DKI Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006, kegiatan penghijauan dan pengelolaan kebersihan mendapatkan perhargaan dalam lomba “Green and Clean 2006” yang diadakan oleh Yayasan Uli Peduli.

Dari hasil studi diketahui bahwa sebanyak 53% kader lingkungan telah melakukan pemilahan sampah dan pengomposan sampah setiap hari, sedangkan sebagian lainnya melakukannya 2 – 3 hari sekali. Sebanyak 89% kader lingkungan yang tidak mengomposkan setiap hari beralasan karena jumlah sampah organiknya sedikit. Sedangkan lainnya beralasan sibuk.

Sampah organik yang dikomposkan antara lain berupa daun-daun pohon, sampah tanaman hias, kulit buah, sisa potongan sayur sebelum dimasak, dan sisa makanan. Jenis sampah yang dominan dikomposkan berupa sampah daun, kulit buah dan potongan sayuran.

Jika dilihat dari jumlah sampah yang dikomposkan, maka jumlah jumlah sampah yang dikomposkan di RW 01 juga semakin meningkat. Pada saat sebelum pilot project berjalan, sampah yang dikomposkan diperkirakan hanya 624 liter per bulan, tetapi setelah pilot project berjalan sampah yang dikomposkan menjadi 984 liter per bulan. Sejalan dengan peningkatan jumlah pengomposan, jumlah produk kompos juga diperkirakan meningkat dari 156 liter menjadi 246 liter perbulannya.

Pengelolaan sampah anorganik juga tidak kalah pentingnya dengan pengomposan. Sebanyak 42% kader lingkungan menyatakan telah memanfaatkannya kembali sampah plastik antara lain untuk pot dan kerajinan tangan. Sedangkan sebanyak 21% mengumpulkan dan memberikannya kepada pemulung. Namun ternyata masih ada kader lingkungan (sebanyak 10%) yang belum memanfaatkannya dan sampah anorganiknya langsung dibuang ke tempat sampah sebagaimana residu sampah lainnya.

Sampah plastik yang dijadikan pot umumnya adalah botol/gelas air mineral dan kaleng plastik cat. Sedangkan sampah plastik yang biasanya dibuat kerajinan adalah plastik-plastik kemasan yang tebal dan berpenampilan bagus.

Salah seorang kader lingkungan, Bapak Hendrik (RT 08/RW 02), telah memanfaatkan secara khusus kaleng plastik cat untuk bahan baku komposter yang dipesan oleh Yayasan Uli Peduli untuk disebarkan di berbagai tempat di Jakarta. Kaleng cat tersebut didesain sedemikian rupa dan dicat warna-warni sehingga penampilannya menarik.

Sementara itu, kader lingkungan Ibu Tri Darmayanti (RT 08/RW 02), telah mendapatkan pelatihan khusus pembuatan kerajinan tangan berbahan baku plastik kemasan dari Yayasan Uli Peduli. Produk kerajinan tersebut berupa tas, dompet, tempat tissue, taplak meja, karpet, dsb. Ibu Tri mendapatkan pula bantuan mesin jahit dari Yayasan Uli Peduli. Produk-produk kerajinan tersebut dijual di beberapa pusat-pusat pertokoan di Jakarta.

Seperti halnya di Banjarsari (Jakarta Selatan), di lokasi tersebut juga memiliki motivator pengelolaan sampah seperti halnya Ibu Bambang Wahono. Usianya pun hampir sama yakni 70-an, tetapi semangatnya masih menyala-nyala.

PESAN GUBERNUR DKI JAKARTA

Untuk mensosialisasikan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Jakarta, diadakanlah sebuah acara yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta pada awal tahun 2008. Pada acara tersebut, Gubernur mencanangkan “Gerakan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat”. Rangkaian acara tersebut meliputi kunjungan Gubernur DKI Jakarta beserta stafnya ke RW 01. Setelah itu, Gubernur berjalan kaki menuju kompleks TPST Rawasari yang berjarak sekitar 200 meter. Di TPST tersebut Gubernur meninjau kegiatan pengomposan dan daur ulang sampah skala kawasan dan ke TPS Indoor. Acara kunjungan ke berbagai tempat tersebut dilanjutkan dengan dialog dengan warga Jakarta tentang permasalahan lingkungan yang dihadapi.
Gubernur Fauzi Bowo dalam sambutannya mengatakan bahwa melibatkan peran serta kader lingkungan dan warga masyarakat sangatlah efektif dalam mereduksi sampah sehingga biaya trasportasi sampah semakin efisien dan umur TPA Bantargebang semakin panjang. Disamping itu, melibatkan masyarakat untuk mengolah sampah memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Gubernur mengakui butuh waktu yang panjang untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengolah sampahnya secara mandiri. Oleh karena itu diperlukan pimpinan komunitas dan kader-kader lingkungan yang tekun untuk menumbuhkan kesadaran warga mengolah sampahnya sendiri. ***


Tulisan Pelengkap :


TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) RAWASARI


Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Rawasari pertama kali dibangun pada tahun 2000 dengan dana APBD Pemda DKI Jakarta dalam Kegiatan Pengelolaan Sampah Kota secara Terpadu Menuju Zero Waste. Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai penyediaan sarana pengelolaan sampah skala kawasan di Jakarta.

Pengelolaan TPST Rawasari dilaksanakan secara bersama antara Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT (sebagai lembaga riset teknologi) dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Pada tahun 2005, TPST Rawasari dikembangkan oleh BPPT dengan memperluas bangunan pengomposan dan peningkatan kegiatan operasionalnya. Selanjutnya pada tahun 2007, di-install mesin-mesin daur ulang sampah sehingga performansi TPST Rawasari semakin lengkap.

Saat ini pengembangan TPST Rawasari juga diintegrasikan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilakukan oleh RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur- Jakarta Pusat. Di dalam kompleks Rawasari terdapat beberapa fasilitas pengelolaan sampah yaitu composting hall, pelbagai mesin daur ulang sampah anorganik, TPS Indoor, dan incinerator kecil.

Saat ini, sebagian besar sampah yang tidak diolah sendiri oleh warga RW 01 dan 02 dibawa ke kompleks TPST Rawasari. Di TPST, sebagian sampah dikomposkan dan didaur ulang, dan sebagian lainnya dimasukkan ke TPS indoor untuk dipres dan diangkut ke TPA Bantargebang. Sebagian kecil residu sampah dibakar di dalam incinerator kecil.

Dengan adanya integrasi pengolahan sampah di tingkat masyarakat dan di TPST Rawasari, volume sampah yang diangkut ke TPA menjadi berkurang sehingga mengurangi ongkos pengangkutan sampah dan memperpanjang umur TPA. Selain itu, didapatkan pula produk samping yang bermanfaat seperti pupuk kompos, produk daur ulang plastik, kertas, dsb. Model pengelolaan sampah tersebut dapat direplikasi di tempat lainnya sesuai dengan kondisi daerahnya.










....Read More/Baca Selanjutnya... »»

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BERBAHAN BAKU SAMPAH DI KOTA PROBOLINGGO

Oleh : Sri Wahyono
swahyono@yahoo.com

Pendahuluan

Kota Probolinggo merupakan salah satu kota di wilayah bagian utara Propinsi Jawa Timur yang terletak di antara jalur jalan Surabaya – Banyuwangi. Luasnya sekitar 5.667 Ha yang secara administratif dibagi menjadi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Mayangan (dengan luas 1.931 Ha), Kecamatan Kademangan (2.151 Ha) dan Kecamatan Wonoasih (1.586 Ha). Pada tahun 2005, jumlah penduduk Kota Probolinggo mencapai 186.221 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk Kota mencapai 3.568 jiwa/km2 (1).

Saat ini, Kota Probolinggo, termasuk juga kota-kota lainnya di Indonesia, menghadapi permasalahan sampah yang cukup pelik seperti pencemaran lingkungan akibat pembakaran dan penumpukan sampah yang tidak terkendali, pembuangan sampah ke sungai sehingga berakibat banjir, dan sulitnya mencari lahan Tempat Pengolahan Akhir (TPA). Sesungguhnya, permasalahan sampah dapat diselesaikan dengan melakukan pengolahan sampah sehingga menjadi tidak mencemari lingkungan, meningkatkan efektivitas pengangkutan sampah, me-recovery sumberdaya, dan memperpanjang umur TPA.

Timbulan sampah Kota Probolinggo mencapai 830 m3/hari yang terdistribusikan berdasarkan lokasinya: timbulan sampah yang berasal dari kawasan pemukiman mencapai 512 m3/hari, kawasan industri 186 m3/hari, pasar tradisional 85 m3/hari, fasilitas perdagangan 44 m3/hari, dan fasilitas kesehatan 3 m3/hari. Secara umum, sampah Kota Probolinggo didominasi oleh sampah organik dan plastik dengan komposisi: sampah organik yang berasal pasar mencapai 92 persen sedangkan dari daerah industri 53 persen (1). Komposisi sampah organik dari pemukiman diperkirakan 60 persen yang berupa sisa-sisa biomasa produk pertanian yang berasal dari sentra-sentra pertanian di desa atau pinggiran kota yang dikirim ke kota, seperti sayur-mayur, palawija, buah-buahan, dan sebagainya. Sampah organik dapat dikonversikan menjadi pupuk organik berkualitas tinggi.

Lahan-lahan pertanian di pinggiran Kota Probolinggo saat ini sangat membutuhkan pupuk organik untuk memperbaiki kesuburannya yang kian berkurang. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini dilakukan tanpa dibarengi dengan penambahan material organik telah menyebabkan tanah pertanian menjadi miskin hara dan tidak gembur. Kondisi ini semakin diperparah dengan ketersediaan pupuk kimia yang semakin sulit didapatkan sehingga menyebabkan turunnya produk pertanian. Oleh karena itu sebagian petani telah memakai kembali pupuk organik untuk memperbaiki kesuburan tanahnya. Pengalaman ini mulai diikuti oleh petani-petani lainnya dan telah berhasil meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya penggunaan pupuk organik. Akibatnya, kebutuhan akan pupuk organik juga semakin meningkat, namun sayangnya ketersediaan pupuk organik yang berkualitas, murah dan mudah didapat, sangat terbatas. Dengan luas lahan pertanian sebesar 2.939 Ha diperkirakan Kota Probolinggo, memerlukan kompos sebesar 21.000 ton pertahunnya. Dengan menerapkan teknologi composting diharapkan permasalahan sampah di Kota Probolinggo dan permasalahan penyediaan pupuk organik yang berkualitas bagi petani dapat dipecahkan.


Teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting

Untuk mendukung pengelolaan sampah kota menjadi kompos dan untuk mendiseminasikan teknologi yang telah dikaji oleh BPPT, maka pada tahun anggaran 2008/2009, Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT melakukan kegiatan penerapan teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting (ARWC) di Kota Probolinggo.

Teknologi accelerated revolver windrow composting (ARWC) atau pengomposan dipercepat sistem windrow bergulir merupakan teknologi pengomposan yang telah dikembangkan oleh Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT yang telah diteliti dan teruji kehandalannya. Teknologi ARWC adalah sistem fermentasi sampah organik yang dilakukan secara aerobik dengan cara ditumpuk memanjang (windrow) dan digulirkan (revolver) secara reguler sehingga berubah menjadi materi stabil seperti humus atau disebut kompos dalam waktu yang dipercepat (accelerated). Mikroba yang digunakan dalam fermentasi tersebut dipilih dari mikroba alami (native microbe) hasil pengembangan sendiri yang mampu melakukan fermentasi secara cepat dan dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan lingkungan.

Karakteristik teknologi ARWC adalah sederhana, mudah, murah dan ramah lingkungan sehingga gampang direplikasi dan dioperasikan di manapun tempatnya di Indonesia. Pengoperasian ARWC dapat dilakukan secara manual maupun mekanis tergantung dari situasi dan kondisinya. Prosesnya tidak berbau dan berlangsung cepat antara 4 sampai 6 minggu. Dengan proses perguliran (revolve) yang dilakukan, dapat terjamin estetika dan kemudahan prosesnya. Sedangkan produk yang dihasilkannya adalah kompos yang bermutu tinggi, yakni kompos yang bebas dari bibit gulma, higinis (bebas bakteri patogen) dan mengandung unsur hara yang tinggi.

Teknologi ARWC telah teruji kehandalannya sehingga telah diaplikasikan di beberapa tempat di Indonesia dengan bahan baku yang beragam jenisnya mulai dari limbah pertanian, limbah industri, hingga sampah kota. Bahkan, teknologi tersebut telah direkomendasikan oleh KLH dan World Bank untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Dalam hubungan dengan penanganan sampah kota, teknologi ARWC memberikan andil yang cukup penting bagi pembangunan perkotaan dan penyediaan pupuk organik bagi pertanian.



Pengembangan proses produksi pupuk organik kompos di Kota Probolinggo dilakukan dengan optimasi proses dan peningkatan sarana dan prasarana pengomposan. Optimasi proses dilakukan dengan menerapkan teknologi ARWC yang mempunyai kapasitas terpasang produksi kompos dapat mencapai sekitar 5 ton kompos per minggu.

Bahan baku pupuk organik adalah sampah organik yang berasal dari beberapa sumber yaitu (i) pemukiman, (ii) sapuan jalan dan taman, dan (iii) pasar, yang diangkut ke plant composting dengan gerobak motor, .mobil pickup, armroll truck atau dump truck.

Proses pertama sebelum dikomposkan, sampah harus dipilah terlebih dahulu di sumber sampah dan di plant composting. Pemilahan di sumber melibatkan peran serta masyarakat yang tergabung dalam kelompok masyarakat (pokmas) peduli sampah. Sampah yang telah terpilah di sumbernya kemudian diangkut dengan baktor oleh petugas untuk dibawa ke tempat produksi pupuk organik. Sementara itu, proses pemilahan sampah di plant composting dilakukan secara manual terhadap sampah yang berasal dari pasar karena masih banyak mengandung sampah anorganik. Proses pemilahan dilakukan di area waste unloading (penurunan sampah) dan ruang pencacahan. Sampah yang berasal dari sapuan jalan langsung dikomposkan, tidak dipilah lagi, karena komposisinya telah didominasi oleh sampah organik. Selanjutnya sampah organik yang terkumpul, sebelum difermentasi, dicacah terlebih dahulu dengan mesin pencacah.

Dari area pencacahan dan pemilahan, sampah diangkut dengan gerobak motor ke composting hall (ruang pengomposan) yang terpisahkan oleh area pengayakan. Tumpukan yang dibentuk secara manual dengan garu dan skop memiliki dimensi lebar 2,5 meter, panjang 8 meter, dan tinggi 1,5 meter yang berbentuk trapesium memanjang (windrow). Dengan dimensi tersebut, proses aerasi alamiah masih berjalan cukup optimal. Untuk mengoptimalkan proses pembuatan pupuk organik, pada saat pembentukan tumpukan ditambahkan kotoran sapi yang kaya akan mikroorganisma (berfungsi sebagai starter) dan kandungan nitrogen yang dapat mempercepat proses pengomposan sehingga proses pengomposan dapat dipercepat (accelerated).

Secara reguler tumpukan disiram untuk menjaga kelembapan sehingga proses pengomposan berjalan optomal. Proses penyiraman menggunakan air tanah dilakukan dengan sprayer/selang. air. Pengendalian kelembapan secara ketat dilakukan karena udara di sekitarnya cukup panas (matahari terik) dan berangin kencang sehingga tumpukan menjadi cepat kering.

Tumpukan yang terbentuk dibiarkan terfermentasi secara aerobik sehingga secara alamiah suhunya meningkat hingga 70 oC. Suhu tinggi tersebut dapat berlangsung selama dua minggu. Setelah tumpukan berumur satu minggu, tumpukan tersebut digulirkan (revolved) ke tempat sebelahnya. Tempat yang telah kosong pada petak 1 diisi kembali dengan bahan baku yang baru. Seminggu kemudian tumpukan pada petak kedua dipindahkan ke petak ketiga, tumpukan petak pertama ke petak dua. Perguliran dilakukan secara reguler hingga masuk petak keenam. Setelah seminggu berada di petak keenam, tumpukan sudah menjadi kompos matang dan siap dipanen. Proses perguliran dilakukan secara manual dengan bantuan baktor, garu dan skop.

Dari petak keenam, produk pupuk organik yang telah jadi (kompos) kemudian digelar di area pengayakan sebelum diayak secara manual dan mekanikal. Pengayakan mekanikal dilakukan jika produk yang akan diayak jumlahnya cukup banyak, sedangkan untuk jumlah sedikit cukup diayak secara manual. Diameter lubang-lubang ayakan sekitar 5 mm. Ayakan mekanis yang dipergunakan berupa trommel screen yang digerakan dengan mesin diesel. Proses pembuatan pupuk organik metode ARWC dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil Produksi Pupuk Organik dan Pemasarannya

Kompos halus berukuran diameter 5 mm kemudian diayak lagi dengan ayakan 3 mm untuk dibuat granul. Proses pembuatan granul dilakukan dengan rotating disc (piringan berputar) yang digerakan dengan mesin diesel yang dapat menghasilkan sekitar 30 kg granul kompos dalam waktu 5 menit. Granul kompos yang diproduksi kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari. Setelah itu, sebagian granul diperkaya dengan N, P, dan K alami dalam mesin mixer sesuai dengan yang dibutuhkan oleh konsumen.



Baik produk pupuk organik yang telah diayak maupun yang telah digranul dikemas dalam kemasan plastik transparan berlabel dengan ukuran 5 kg. Sealing kemasan dilakukan dengan electric hotseal. Untuk pupuk granul, selain dikemas dalam ukuran tersebut, juga dikemas dalam karung dengan ukuran 50 kg. Penutupan karung dilakukan dengan menjahitnya. Merek pupuk organiknya yaitu BIOKOMPOS Bayuangga Lestari.

Produk pupuk organik kompos yang diproduksi telah memenuhi beberapa persyaratan kualitas kompos seperti yang tercantum dalam SNI Kompos No. 19-7030-2004 (2). Rasio C/N kompos adalah 18, suatu nilai yang mendekati rasio C/N tanah yaitu sekitar 10 sampai 20. Suhu kompos sekitar 25 oC, sesuai dengan dengan suhu air tanah. Baunya seperti bau tanah karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna kehitaman dan teksturnya juga seperti tanah. Karakteristik fisik dan kimia kompos disajikan dalam Tabel 1.



Jumlah pupuk yang sudah berhasil diproduksi dari Bulan Mei sampai Oktober 2008 adalah 49,75 ton. Jika dirata-ratakan produksi pupuk organik perminggunya adalah 2,07 ton, padahal target produksi pupuk organik adalah 3 ton perminggu.



Produk pupuk organik yang dipasarkan terdiri dari dua bentuk yaitu bentuk kompos (biasa) dan bentuk kompos granul. Distribusi pupuk kompos (biasa) dilakukan di dalam Kota Probolinggo, sedangkan distribusi kompos granul sebagian besar dilakukan di luar Kota Probolinggo seperti Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Nganjuk dan Kota Malang. Di dalam Kota Probolinggo, kompos sebagian didistribusikan ke penduduk sebagai bentuk insentif ke rumah tangga yang telah berperan memilah sampah, kelompok tani, dan sebagian yang lainnya didistrbusikan ke para retailer atau kios tanaman hias yang tersebar di beberapa lajur jalan di Kota Probolinggo. Hasil penerapan produk granul kompos pada tanaman bawang merah dan kentang yang telah dilakukan petani terbukti dapat meningkatkan hasil panen komoditas tersebut.

Penutup

Penerapan teknologi Accelerated Revolver Windrow Composting (ARWC) di Kota Probolinggo telah berhasil dilaksanakan. Produknya, baik dalam bentuk kompos biasa maupun kompos granul, berkualitas baik dan memenuhi standar nasional. Kegiatan pengolahan sampah menjadi pupuk organik telah membuka lapangan kerja baru di bidang pengomposan dan daur ulang sampah kota serta meningkatkan efisiensi sistem pengelolaan sampah kota dan memperpanjang umur TPA.

Kegiatan pembuatan pupuk organik kompos di Kota Probolinggo sebaiknya direplikasi di daerah-daerah lainnya dengan serius dan profesional sesuai kondisi daerahnya karena disamping bermanfaat dalam penyediaan pupuk organik untuk ketahanan pangan dan menjaga kebersihan serta kehijauan kota tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi pengelola kebersihan. Oleh karena itu, program seperti ini sebaiknya di tahun-tahun mendatang juga diarahkan ke kota-kota lainnya di Indonesia.


Pustaka:

1.Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Probolinggo. 2007. Profil Pengelolaan Persampahan Kota Probolinggo.
2.SNI No. 19 – 7030 – 2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik
....Read More/Baca Selanjutnya... »»

DAUR ULANG LIMBAH GARMEN

Oleh: Mohamad Yusman
yusmanmsc@email.com, yusman61@gmail.com

1. PENDAHULUAN
Di wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah, yaitu di Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Di Kabupaten Bandung industri tekstil terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu wilayah timur (sepanjang Jalan Cileunyi-Cicalengka-Majalaya), wilayah tengah (sepanjang Jalan Mohammad Toha–Dayeuhkolot–Majalaya), dan wilayah barat (sekitar Nanjung dan Padalarang). Di Kota Cimahi, lokasi industri tekstil terkonsentrasi di sekitar Leuwigajah. Untuk wilayah Kota Bandung penyebaran industri tekstil berbeda dengan penyebaran dengan Kabupaten Bandung maupun Kota Cimahi. Di Kota Bandung, penyebarannya cenderung tidak terkonsentrasi dalam satu sentra.
Daerah Majalaya selama ini sudah dikenal sebagai sentra penghasil tekstil sejak tahun 1950-an yang mampu menghasilkan aneka ragam produk tekstil seperti sarung, kain untuk bahan pakaian, handuk, benang, kain kasur dan lain-lain. Saat itu betul-betul merupakan masa keemasan bagi Majalaya. Bahkan saking makmur dan terkenalnya tekstil Majalaya, kota ini pun mendapat julukan baru sebagai Kota Dollar. Kemajuan dan ketenaran Majalaya sebagai kota kecil penghasil industri tekstil membuat kepincut Wakil Presiden RI saat itu, Bung Hatta, untuk meninjau secara langsung keberadaan industri tekstil di Majalaya.
Saat ini, peralatan produksi yang digunakan para pengusaha umumnya bervariasi mulai dari aplikasi teknologi alat tenun bukan mesin (ATBM) hingga mesin tenun modern. Dan dari data Persatuan Pengusaha Tekstil Majalaya (PPTM), anggota PPTM yang tercatat adalah 220 perusahaan namun yang aktif hanya 52 perusahaan dengan tingkat utilisasi mesin sekitar 60%..
Kegaiatan proses produksi yang berlangsung didaerah Majalaya dan sekitarnya tersebut menghasilkan sampah yang mayoritas berupa sampah anroganik yakni sampah dari sisa-sisa produksi seperti sisa benang, kain potongan, kones bekas gulungan benang, kardus bekas pengepak benang, dan masih banyak jenisnya lagi. Barang-barang sisa tersebut apabila dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar melalui upaya daur ulang menjadi produk yang memiliki nilai jual maka akan dapat memberi keuntungan dan mengatasi beragai masalah ekonomi setempat.

2. DAUR ULANG LIMBAH INDUSTRI GARMEN

Daur ulang adalah salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang dianggap sudah tidak memiliki nilai ekonomis yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai menjadi produk baru. Produk baru tersebut pada umumnya memiliki kualitas yang lebih rendah karena sudah kehilangan sebagian karakteristik bahannya.

Secara garis besar, kegiatan daur ulang digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1. Untuk masyarakat Majalaya dan sekitarnya dimana daerah mereka dipenuhi oleh industri garmen, kegiatan pendaur-ulangan dapat berada pada tingkat pengolahan yang menghasilkan produk antara untuk disuply ke industri pengolah atau produk jadi dengan menggunakan proses dan peralatan sederhana. Kegiatan pada tingkat ini diperkirakan dapat menyerap 40 hingga 50 orang per lokasi kegiatan, tergantung ketersediaan modal yang ada dan jenis limbah garmen yang diprosesnya



2.1. Produk Daur Ulang: Keset
Keset berbahan baku limbah garmen memiliki kekuatan dan penampilan yang tidak kalah bersaing dengan yang berbahan baku non-limbah. Bahan bakunya berupa pinggiran kain yang sudah dibauang oleh industri garmen dan disebut tali. Tali yang sudah terkumpul dan dipisah menurut jenis warna dan jenis kainnya kemudian diproses/tenun dengan menggunakan alat tenun yang disebut Tustel. Untuk memberi ikatannya digunakan bahan yang disebut Lusi. Untuk pekerja yang sudah mahir dapat menghasilkan produk keset sebanyak 1,5 kodi atau sejumlah 30 keset per hari atau sekitar 40 kodi per bulan. Pemasaran produk keset tidaklah sulit karena disamping harganya murah juga sudah banyak Bandar/pengepul yang siap menampung hasil keset terseut untuk selanjutnya didistribusikan.dipasarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Diagram proses pembuatannya dapat digambarkan sebagai berikut:



2.2. Produk Daur Ulang: Celana Pendek/ Kolor
Celana pendek/kolor menggunakan bahan baku kain sisa produksi pabrik dengan berbagai ukuran antara lain: 0.5 meter atau kurang, 1.0 m, dan 2 meter keatas, Bahan-bahan tersebut dapat dijadikan produk dengan berbagai ukuran, mulai dari kecil, sedang, besar, dan jumbo. Proses pembuatannya adalah sebagai berikut:



2.3. Produk Daur Ulang: Lap dari Benang Sisa
Terdapat berbagai jenis dan warna benang dari sisa produksi yang masih menempel pada kones. Benang-benang tersebut dikelompokkan menurut jenis dan warnanya kemudian disambung dan digulung ulang melalui mesin Reel hingga didapat gulungan besar hasil gabungan dari sisa-sisa benang. Gulungan besar benang sisa ini selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pada alat tustel. Produk setengah jadi yang keluar dari alat ini kemudian diberi perlakuan akhir dengan cara merapikan bagian pinggirnya dengan mesin obras dan mesin jahit. Dan setelah diberi label serta kemasan maka produk ini sudah dapat dilempar ke pasar. Rangkaian prosesnya adalah sebagai berikut:



Lampiran Photo:


Gambar 5: Limbah majun tali dari industri garmen


Gambar 6: Limbah majun tali yang sudah disambung-sambung dan digulung


Gambar 7: Majun tali gulungan yang sudah dimasukkan ke Coban


Gambar 8: Proses pembentukan keset dari limbah majun tali


Gambar 9: Produk keset dari limbah majun tali yang siap dijual
....Read More/Baca Selanjutnya... »»

PENGELOLAAN LIMBAH PLASTIK DI INDONESIA: TANTANGAN, PELUANG DAN STRATEGI

Oleh: Mohamad Yusman
yusmanmsc@email.com, yusman61@gmail.com

I. PENDAHULUAN
Sebagai bahan yang karena sifat karakteristiknya mudah dibentuk, tahan lama (durable), dan dapat mengikuti trend permintaan pasar, plastik telah mampu menggeser kedudukan bahan-bahan tradisionil dimana permintaan dari tahun ke tahunnya selalu menunjukan peningkatan. Kebutuhan plastik di Indonesia per kapitanya yang mencapai sekitar 7 kg per kapita relatif masih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya yakni sekitar 20 kg/kapita, namun dengan jumlah penduduk yang sangat besar maka total kebutuhan plastik Indonesia mencapai 24% dari total ASEAN dan berada pada peringkat kedua setelah Thailand (33%) (gambar-1). Secara keseluruhan hingga tahun 2002 diperkirakan total kebutuhan polimer di Indonesia akan mencapai 1,9 juta ton.



Meningkatnya pasar dan produksi barang plastik tersebut telah memberikan sumbangan positif terhadap devisa negara. Namun disisi lain, plastik-plastik yang sudah tidak terpakai oleh masyarakat akan dibuang dan berubah menjadi sampah. Dari total konsumsi plastik yang sudah mendekati 2 juta ton pada saat ini diperkirakan 80% berpotensi menjadi limbah. Jika keberadaan sampah plastik tersebut dibiarkan terus menerus tanpa ada upaya dalam penanganannya maka sudah dapat dipastikan penumpukan limbah plastik akan menjadi masalah yang besar. Hal ini disebabkan sifat karakterisitik sampah plastik itu sendiri yang sulit diurai oleh mikroorganisme. Penumpukan sampah plastik yang akhirnya bermuara di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) lambat laun akan memperpendek umur TPA itu sendiri.
Telah banyak upaya dilakukan dalam rangka penanganan limbah plastik ini, seperti substitusi sebagian bahan bakunya dengan menggunakan bahan yang mudah diperbaharui (renewable). Upaya ini sudah diterapkan di beberapa negara seperti Itali, India, Jepang dan lainnya yang dikenal sebagai plastik mampu urai (Environmentally Degradable Plastic/EDP). Di Indonesia berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi juga sudah mulai melakukan penelitian di bidang EDP ini seperti di ITB, P3FT LIPI, BBKKP maupun di BPPT sendiri. Sementara untuk limbah plastik yang non-degradable sementara ini dilakukan upaya pendaur ulangan sebagai salah satu cara untuk mengurangi tingkat laju timbulannya, hal ini ditandai dengan banyaknya industri daur ulang limbah plastik.
Keberadaan industri daur ulang limbah plastik di Indonesia telah memberikan nilai tambah bagi sebagain besar jenis sampah plastik dan mampu menciptakan suatu iklim usaha yang cukup menjanjikan serta mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar pula.
Laju kegiatan usaha daur ulang plastik yang telah banyak menyerap tenaga kerja disektor informal ini ditentukan oleh permintaan dan pemasokan terhadap pasar. Masuknya sampah plastik impor dari berbagai negara tetangga akan merusak stabilitas harga sehingga harga ditingkat pemulung akan jatuh ke level yang sangat rendah. Hal tersebut pernah dialami Indonesia hingga awal tahun 90-an hingga pada akhirnya pemerintah melalui Menteri Perdagangan mengeluarkan peraturan No. 349/Kp/XI/1992 tentang larangan impor sampah plastik masuk ke Indonesia.

II. SISTEM PENGELOLAAN LIMBAH PLASTIK
Plastik merupakan salah satu bahan yang banyak digunakan untuk hampir seluruh peralatan rumah tangga maupun keperluan lainnya seperti atomotif dan sebagainya. Produk barang plastik selain sangat dibutuhkan oleh masyarakat juga mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan antara lain limbah dari proses produksi dan plastik-plastik bekas yang dibuang masyarakat. Bahan-bahan plastik bekas tersebut cukup sulit untuk dikendalikan sebagai contoh pembakaran plastik seperti PVC dapat menimbulkan asap yang mengandung HCl sedangkan plastik bekas yang tidak terpakai akan menimbulkan masalah dalam penimbunan sampah akhir karena plastik tidak dapat membusuk sehingga mengurangi efisiensi penimbunan sampah. Sampah plastik merupakan mayoritas komponen sampah yang mudah ditemui di sungai dan di bantaran sungai.
Plastik bekas adalah semua plastik yang berasal dari semua jenis barang yang terbuat dari plastik yang sudah tidak digunakan lagi. Sebagian besar dari plastik bekas ini banyak terdapat di dalam sampah yang dibuang oleh masyarakat juga di bantaran sungai. Plastik bekas berdasarkan jenisnya dapat dikelompok-kelompokkan, yaitu plastik bekas yang dapat digunakan kembali hanya dengan mencucinya dengan sabun dan air saja, tetapi ada jenis plastik bekas yang harus dihancurkan atau dibuat bahan baku yang berbentuk pelet/butiran, selain itu ada pula plastik bekas yang sudah tidak dapat digunakan lagi, plastik jenis ini biasanya plastik yang berasal dari plastik dari pemanfaatan kembali atau plastik yang sudah berulang kali penggunaannya.
Jenis plastik bekas yang dapat dimanfaatkan kembali dengan cara dicuci dengan air dan sabun antara lain botol dan alat pengemas lainnya yang berwarna putih transparant, seperti botol cuka, kemasan sabun cream, botol aqua dan lain sebagainya. Barang-barang plastik bekas yang dapat digunakan sebagai bahan baku dengan pengolahan lebih dahulu sebetulnya cukup banyak, hampir semua jenis peralatan rumah tangga yang terbuat dari plastik dapat diolah kembali dengan cara dikelompokkan berdasarkan jenis plastiknya dan warnanya, karena warna biasanya dapat menunjukkan apakah plastik tersebut masih dapat digunakan kembali.
Secara garis besar sistem pengelolaan limbah plastik saat ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Jika ditinjau proses produksi plastik dari hulu hilir, maka keseluruhan sistem plastik terdiri dari beberapa subsistem yang saling berkaitan yaitu :
• subsistem bahan baku primer yang merupakan proses penyiapan bahan baku plastik yang diambil dari minyak bumi (sumber daya alam) sampai diperoleh bahan baku primer berupa bijih plastik asal (virgin),
• subsistem proses produksi yang merupakan proses pembuatan produk plastik,
• Subsistem pengelolaan sampah plastik merupakan satu kesatuan dengan sistem pengelolaan sampah kota karena sampah plastik merupakan salah satu komponen sampah kota. Subsistem ini terdiri dari proses timbulnya sampah plastik, sistem pengumpulan dan pengangkutan serta sistem pembuangan akhirnya.
• Subsistem daur ulang plastik terdiri dari proses pengumpulan sampah plastik yang dapat didaur ulang oleh pemulung, proses pengolahan yang saat ini hanya dilakukan pemilahan jenis plastik, penggilingan sekaligus pencucian, dan pengeringan serpih plastik yang kemudian dikemas dan dikirim ke pabrik plastik sebagai bahan baku sekunder.
Secara rinci, sistem daur ulang sampah plastik di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Sampah plastik yang terbuang di lingkungan akan secara tidak langsung merusak ekosistem melalui (1) sumbatan pada sistem saluran air yang menyebabkan sedimentasi dan banjir, (2) merusak lahan subur seperti hutan mangrove karena keberadaan sampah plastik menutupi permukaan dan mengurangi sistem pengudaraan, dan (3) karena sifatnya yang tidak dapat membusuk, akan mengurangi kapasitas lahan pembuangan akhir sampah. Untuk mengurangi sampah plastik dapat dilakukan upaya penggunaan kembali (Reuse), pengolahan untuk bahan baku sekunder produk plastik lain (Recycle), dan penggunaan untuk produk sama sekali lain misalnya bahan kimia/monomer dan energi (Revovery), yang dikenal dengan 3 R.






Selain itu, pengurangan sampah plastik dapat dilakukan dengan :
Subtitusi bahan baku – mengganti unsur/bahan produk dengan bahan yang mudah di daur ulang, tidak membutuhkan energi banyak, dll.
Pengurangan limbah – mengurangi jumlah produk atau pembungkusnya, sehingga mengurangi jumlah limbah per unit produksi.
Perpanjangan daur hidup – memperpanjang umur produk dan komponen-komponennya dapat mengurangi terbentuknya limbah.
Kemudahan untuk dapat dipisahkan dan bongkar pasang – kemudahan pemisahan dan pemanfaatan bahan menggunakan teknik tertentu sehingga setiap bagian mudah terpisahkan dan di daur ulang.
Daur ulang – menjamin kandungan produk dan buangan produk untuk dapat didaur ulang.
Mudah dalam pembuangan – menjamin bahwa bahan-bahan yang tidak dapat di daur ulang dapat dibuang dengan aman dan efisien.
Mudah digunakan kembali – memaksimalkan seluruh komponen produk dapat di manfaatkan, diperbaharui dan digunakan kembali.
Remanufaktur – memungkinkan pemanfaatan hasil-hasil pasca industri atau pasca penggunaan dapat digunakan sebagai bahan baku sekunder untuk proses lainnya.

III. ASPEK-ASPEK
Aspek-aspek yg diperkirakan mempengaruhi sistem pengelolaan sampah plastik antara lain :

• Aspek teknologi.
Untuk saat ini, teknologi yang banyak digunakan dalam pengolahan sampah plastik hanyalah teknologi pencucian, penghancuran sampah plastik dan teknolgi pembuatan bijih plastik. Teknologi tersebut digunakan hanya untuk proses daur ulang jenis sampah plastik tertentu. Plastik yang terbuang sebagai sampah seperti plastik lembaran bekas kemasan makanan anak-anak belum dapat tertangani dan memenuhi lahan pembuangan akhir dan badan air. Sampah jenis ini dapat diolah untuk produk baru melalui teknologi pelelehan (ekstrusi). Aspek teknologi merupakan hal yang cukup penting dalam sistem pengelolaan sampah plastik. Sampai saat ini teknologi pemusnahan sampah plastik yang efisien dan aman masih sangat sedikit. Teknologi pemusnahan yang paling umum dilakukan adalah membakar sampah plastik berikut sampah lainnya sehingga terurai menjadi unsur-unsur CO, CO2, H2O, dan polutan lain yang terbawa asap hasil pembakaran dan teknologi ini dianggap sangat mempunyai risiko pada pencemaran lingkungan terutama udara.
Upaya lain dalam penanganan sampah plastik adalah dengan cara penimbunan tanah atau yang dikenal dengan sanitary landfill. Cara ini banyak dilakukan yakni dengan memasukan limbah plastik yang masih kurang diminati untuk didaur ulang bersamaan dengan sampah padat lainnya kedalam tanah kemudian ditimbun dengan tanah. Penimbunan dengan cara ini tentunya memerlukan berbagai persyaratan agar tidak menimbulkan permasalahan baru.
Cara daur ulang plastik (recycling) sudah banyak dilakukan di Indonesia dimana pada umumnya sampah plastik yang berasal dari berbagai sumber diproses dengan cara penggilingan dan pelelehan kemudian dibentuk menjadi berbagai macam produk. Berikut beberapa jenis sampah plastik yang banyak didaur ulang beserta produk yang dihasilkannya.



Pirolisis merupakan upaya lain dalam mendaur ulang sampah plastik, namun belum banyak dilakukan di Indonesia. Cara ini merupakan cara dekomposisi fisik maupun kimiawi dengan menggunakan panas tanpa adanya oksigen. Melalui cara ini plastik akan terdekomposisi menjadi molekul yang lebih kecil atau monomernya. Berikut beberapa cara pirolisis yang sudah dikembangkan di negara lain:



Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi keberadaan dan memanfaatkan sampah plastik adalah pembakaran dengan menggunakan tungku (incinerator) serta memanfaatkan panas hasil pembakaran tersebut menjadi sumber enerji. Pada umumnya plastik memiliki nilai panas (heating value) lebih tinggi dari sampah lain, sekitar 2 hingga 4 kalinya. Dengan demikian maka pemanfaatan enerji dari hasil pembakaran sampah plastik merupakan alternatif yang patut dipertimbangkan. Namun perlu digarisbawahi bahwa cara pembakaran ini apabila tidak dirancang dengan benar maka akan menimbulkan permasalahan baru. Sebagai contoh pembakaran PVC akan menghasilkan asam HCl dan pembakaran urethanes menghasilkan HCN. Disamping itu, pembakaran yang kurang sempurna akan menghasilkan jelaga. Dibandingkan dengan pembakaran sampah biasa, pembakaran sampah plastik memerlukan 3 hingga 10 kali udara pembakar. Behan pencemar lain yang akan timbul sebagai akibat dari pembakaran sampah plastik adalah air atau bahan kimia lain yang berfungsi menangkap senyawa asam. Air yang digunakan untuk menangkap HCl dari hasil pembakaran akan menjadi asam dan harus diberi perlakuan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan sungai.
Alternatif lain dalam rangka mengurangi keberadaan sampah plastik adalah dengan cara mengurangi penggunaan barang-barang berbahan baku plastik atau menggantinya dengan barang yang non-plastik. Salah satu contohnya adalah mensubstitusi bahan plastik dengan bahan yang mudah diurai dan dihancurkan oleh lingkungan seperti bahan-bahan environmentally degradable polymers (EDPs). Penggunaan EDPs ini sekarang sudah mulai diterapkan di beberapa negara seperti Italy, Korea, dan India.

• Aspek kelembagaan
Aspek kelembagaan meliputi instansi dan organisasi yang khusus menangani sampah plastik khususnya dan barang plastik pada umumnya. Kelembagaan mempunyai fungsi yang penting dalam mengeluarkan sistem pengelolaan sampah plastik secara menyeluruh dan komprehensif termasuk didalamnya penerbitan peraturan yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sampah plastik pada khususnya dan plastik pada umumnya. Sampai saat ini, instansi yang terkait dengan sistem pengelolaan sampah plsatik adalah Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang mengatur secara langsung sistem pengelolaan plastik dari bahan baku sampai ke produk. Kementerian Lingkungan Hidup mempunyai tugas dan fungsi dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk berbagai dampak yang ditimbulkan akibat proses pembuatan plastik dan produk barang plastik yang sudah tidak terpakai dan dibuang ke lingkungan. Pemerintah Daerah cq. Dinas Kebersihan merupakan instansi terdepan dalam pengelolaan sampah plastik dalam sistem pengelolaan sampah kota.

• Aspek kebijakan/peraturan perundang-undangan
Aspek pengaturan merupakan kumpulan peraturan yang mengatur sistem pengelolaan sampah plastik. Aspek pengaturan dapat dimulai dari penggunaan sumber daya alam untuk bahan baku plastik sampai pengelolaan sampah plastik. Dalam hal sampah plastik, baru peraturan S.K Menteri Perdagangan No. 349/Kp/XI/1992 tentang larangan impor sampah plastik ke Indonesia yang berkaitan langsung dengan sampah plastik. Dalam prinsip dasar pencemaran lingkungan akibat buangan bahan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, maka ada prinsip yang menyatakan bahwa pembuang limbah yang merusak lingkungan harus menanggung beban biaya yang ditimbulkan (polluter’s pay principle). Pengaturan ini dapat saja diterapkan di Indonesia sehingga perusahaan pembuat produk plastik dapat beramai-ramai iuran untuk membantu pengelolaan sampah plastik sehingga tidak mencemari lingkungan. Searah dengan sudah berjalannya sistem daur ulang plastik di masyarakat secara luas, maka peraturan yang mengatur mengenai sistem ini sebaiknya segera dipikirkan. Misalnya (1) pemberian label jenis plastik pada semua produk plastik yang dapat di daur ulang sehingga memudahkan pengumpulan oleh para pemulung, (2) pengaturan proses pengambilan sampah plastik di sumber-sumber sampah oleh pemulung, dan (3) pengaturan mengenai usaha daur ulang sampah plastik yang sebaiknya mendapat dukungan dari Pemerintah sebagai mitra dalam upaya pelestarian lingkungan, (4) posisi tawar antara pemulung dan pengusaha daur ulang, (5) mengintegrasikan kegiatan pengolahan limbah plastik kedalam sistem pengelolaan sampah keseluruhan.

• Aspek ekonomi
Daur ulang sampah plastik terutama dari jenis plastik keras seperti LDPE, HDPE, PP, dan lain-lain sudah tidak dapat disangkal lagi mempunyai prospek ekonomi yang baik. Prospek tersebut dapat dilihat dari banyaknya pemulung yang terlibat dalam proses daur ulang plastik, besarnya pasar yang membutuhkan plastik daur ulang sebagai bahan baku sekunder, dan sulitnya memperoleh sampah plastik untuk industri daur ulang pada tahun terakhir ini. Sebagai contoh Jakarta merupakan ibu kota negara dan kota metropolitan yang terbesar di Indonesia tidak luput dari masalah penanganan sampah. Dengan penduduk kota sebanyak 9 juta jiwa, Jakarta harus mengelola sebanyak 21.000 m3 sampah per hari atau setara dengan 5.000 ton per hari. Jika komposisi sampah plastik mencapai 7 % dan diserap oleh pemungut barang bekas 50% saja maka jumlah plastik yang diproses kembali sekitar 175 ton per hari. Maka jika pasaran harga per kilogram plastik Rp. 500,-, uang yang berputar dalam bisnis daur ulang plastik ini dapat mencapai sekitar 80 juta rupiah per hari atau 2,4 milyard rupiah per bulan setara dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 4.000 tenaga kerja dengan upah rata-rata Rp. 600 ribu per bulan.
Disisi lain, untuk memusnahkan plastik yang tidak mempunyai pasar daur ulang seperti produk kemasan dan kantung-kantung plastik yang banyak digunakan di supermarket, mall, dan lain sebagainya, diperlukan biaya yang cukup mahal mulai dari penelitian awal sampai implementasi peralatan. Teknologi ekstrusi (pelelehan) yang dapat memproses segala jenis plastik dan menghasilkan produk untuk genting, bangku taman, dan sebagainya yang diperkenalkan oleh salah satu perusahaan asing, kemungkinan dapat menjadi salah satu teknologi pemusnahan plastik kemasan, akan tetapi memerlukan biaya cukup besar. Dalam kasus seperti ini, maka Pemerintah dan pengusaha sebaiknya bekerja sama untuk menciptakan suatu mekanisme tataniaga plastik dan limbah plastik mulai dari produsen hingga konsumen. Mekanisme tersebut akan memberikan peluang kesempatan kerja terutama bagi mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian.

• Aspek peran serta masyarakat
Peran serta masyarakat sangat penting peranannya dalam sistem pengelolaan sampah plastik. Di beberapa negara maju, masyarakat sudah terbiasa tidak menggunakan kantung plastik untuk membawa barang yang dibeli dari super market atau mall. Mereka telah menyadari dampak buruk yang diakibatkan oleh pembuangan maupun pembakaran sampah plastik. Dengan demikian, buangan sampah plastik dari jenis kantung dan kemasan dapat banyak terkurangi. Dalam penggunaan sehari-hari, masyarakat dapat membantu lingkungan dari pencemaran barang plastik bekas seperti (1) menggunakan produk plastik yang sudah tidak dipakai untuk kegunaan lainnya misalnya bekas-bekas ember untuk pot tanaman dan sebagainya. (2) membiasakan membawa keranjang untuk berbelanja, dan (3) tidak membeli barang dengan kemasan plastik yang tidak dapat didaur ulang (4) memilah sampah plastik mulai dari sumbernya.
Dalam kinerja sistem pengelolaan sampah plastik, maka aspek-aspek diatas perlu dimasukkan dalam pengkajian dari setiap subsistem. Pemilihan teknologi juga berkaitan sangat erat dengan aspek lainnya. Sebagai contoh, dalam memilih teknologi untuk pengolah kembali sampah plastik yang setidaknya dapat menghambat plastik menjadi sampah, maka aspek ekonomi merupakan hal yang perlu dipertimbangkan lebih dahulu. Apapun teknologi yang dipilih jika produknya tidak mempunyai pasar yang baik, maka teknologi ini tidak sustainable artinya tidak dapat berkembang dengan baik di mayarakat.

IV. AGENDA BERSAMA
Kaitannya dengan lembaga internasional, BPPT bekerjasama dengan The International Center for Science and High Technology (ICS-UNIDO) berencana mendirikan mini plant untuk daur ulang limbah plastik maupun EDP untuk jenis produk plastik yang selama ini kurang diminati untuk didaur ulang. Diharapkan kerjasama ini dapat melibatkan berbagai fihak/instansi dan perguruan tinggi yang selama ini telah dan sedang melakukan kajian dan penelitian terhadap daur ulang plastik maupun EDP.
Peran masing-masing institusi/instansi harus disesuaikan dengan tugas dan fungsi pokok dari institusi/instansi tersebut. BPPT dan instansi lain yang berkecimpung dalam pengkajian teknologi akan memfokuskan diri pada aspek teknologi. Demikian juga dengan instansi/institusi lain akan memfokuskan sesuai dengan tugas dan fungsi pokok mereka.

VI. PENUTUP
Peningkatan penggunaan plastik disatu sisi telah mendatangkan manfaat yang cukup besar serta memberikan sumbangan positif terhadap devisa negara, namun disisi lain karena sifat yang sulit diurai oleh lingkungan maka produk plastik yang sudah menjadi sampah akan menimbulkan masalah baru. Namun demikian, keberadaan sampah plastik di Indonesia pada umumnya justru telah menciptakan iklim usaha yang menguntungkan serta dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar melalui upaya daur ulang plastik.
Karena upaya daur ulang plastik ini memiliki potensi yang cukup besar dan menguntungkan bagi lingkungan karena telah dapat mengurangi keberadaannya maka perlu dilakukan sistim pengelolaan sampah plastik yang benar serta melibatkan berbagai aspek yang saling terkait satu sama lainnya. Aspek-aspek dimaksud adalah Aspek teknologi, kelembagaan, pengaturan, ekonomi, dan aspek peran serta masyarakat.
Alternatif lain dalam rangka mengurangi keberadaan sampah plastik adalah dengan cara mengurangi penggunaan barang-barang berbahan baku plastik atau menggantinya dengan barang yang non-plastik. Substitusi bahan plastik dengan bahan yang mudah diurai dan dihancurkan oleh lingkungan seperti bahan-bahan environmentally degradable polymers (EDPs) sekarang sudah mulai diterapkan di beberapa negara seperti Italy, Korea, dan India. Di Indonesia upaya tersebut masih dalam taraf percobaan skala laboratorium. Untuk melangkah kearah pilot plant dan skala industri maka diperlukan kerjasama, baik dengan mitra Indonesia sendiri maupun dengan fihak luar seperti ICS-UNIDO, Univ. of Pisa Italy, dan sebuah perusahaan swasta China.
....Read More/Baca Selanjutnya... »»

DAUR ULANG SAMPAH KARDUS

Oleh: Mohamad Yusman
yusmanmsc@email.com, yusman61@gmail.com

1. Latar Belakang
Kertas merupakan salah satu komoditi yang sangat dibutuhkan oleh hampir seluruh umat manusia didunia, Kehidupan modern kita sehari-hari kini tidak bisa lepas dari kertas yang bahan bakunya sebagian besar kayu hasil tebangan pohon dari hutan. Dengan demikian makin boros masyarakat memakai kertas, makin banyak pohon yang harus ditebang untuk dijadikan pulp (bubur) calon kertas. Sebagai gambaran kasar, untuk menghasilkan 1 ton serat asli pulp kimia diperlukan sekitar 1,5 ton kayu. Jadi dapat dibayangkan apabila penggunaan kertas hanya dipenuhi oleh serat asli maka akan berdampak langsung pada kelestarian lingkungan hidup.
Kebutuhan kertas di Indonesia apabila pada tahun 1987 hanya membutuhkan 782.420 ton maka pada tahun 1996 sudah mencapai angka 3.119.970 ton. Dan dari semua kertas yang dikonsumsi tersebut hanya sebagian kecil yang kembali ke pabrik untuk didaur ulang karena terjadi benturan kepentingan dengan penggunaan lain oleh masyarakat. Namun demikian bukan berarti kertas yang tidak kembali ke pabrik kertas tersebut sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat. Kertas bekas yang tidak termanfaatkan karena satu dan lain hal akhirnya akan bermuara ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga akan menambah volume sampah dan memperpendek umur TPA itu sendiri.

2. Daur Ulang Sampah Kertas/Kardus
Pemanfaatan kembali kertas bekas secara langsung untuk penggunaan lain merupakan upaya penghematan terhadap peningkatan kebutuhan kertas dari serat asli. Upaya guna ulang kertas bekas tersebut akan berdampak positif terhadap kemusnahan hutan dimasa mendatang.
Salah satu upaya daur ulang sampah kertas adalah memberi perlakuan terhadap kertas kardus bekas untuk dijadikan produk bahan pengemas kembali dengan ukuran yang sama atau lebih kecil. Hal yang perlu diperhatikan adalah permintaan jenis kardus biasanya harus seragam berdasarkan jenis gelombangnya, yakni kardus satu gelombang (one ply), 2 gelombang (two plies), dll. Disamping itu gelombang kardus tidak boleh dipress karena gelombangnya akan hilang dan mengurangi kekuatan kardus itu sendiri. Gambaran garis besar perlakuan terhadap kardus bekas adalah sebagai berikut:



Sedangkan diagram alir proses daur ulang kardus bekas disajikan pada gambar-2 berikut ini:



Lampiran Photo:


Limbah kardus



Pemotongan dengan Kachip untuk kardus ukuran kecil



Pemotongan dengan Eksentrik untuk kardus ukuran besar



Kardus ukuran kecil (mie instan) setelah dipotong Kachip



Mesin Pond sebagai pemotong dan pembentuk alur kardus bentuk baru



Mesin jahit kardus



Kardus hasil daur ulang
....Read More/Baca Selanjutnya... »»